Life is all about born, married, have a child, and die
BORN..
Ini takdir Tuhan yang tak terbantahkan. Saat dilahirkan ke dunia, manusia tidak diberi pilihan siapa orang tuanya kelak. Manusia dipaksa menerima dari rahim siapapun dirinya akan keluar, ia harus berbakti kepadanya. Pada saat ini pula semua “suratan” kehidupan kita telah ditulis dengan rapi oleh sang kuasa.
Abis lahir lalu harus apa? Kebanyakan orang menghabiskan ¼ abad untuk hidup sendiri mencari jati diri. Mencari materi, mencari “hahahihi”, dan mencari “hiks hiks hiks”.
MARRIED..
Usia 25 tahun saya jadikan patokan yang ideal bagi diri saya pribadi untuk siap memasuki jenjang kehidupan kedua, yakni pernikahan. Entah dengan siapa jodoh saya kelak, siapapun itu, saya yakin Tuhan punya cerita indah atas dirinya.
HAVE A CHILD..
Saya perempuan, sempurna bagi saya adalah saat ada nafas yang berhembus dari dalam perut saya, kemudian keluar dari rahim, dengan sejuta gen yang diturunkan oleh saya dan suami saya kelak.
Punya anak, terus mau apa? Tidak berandai terlalu tinggi, saya ingin anak-anak saya kelak bisa merawat dan mendoakan saya jika raga ini sudah renta atau bahkan terkubur dalam tanah.
DIE..
Hidup itu bagaikan roda, saat kita muncul dari bawah, maka tunggu saja saat kita akan kembali ke bawah. Ke bawah liang lahat dengan pakaian maha sempurna, kain kafan bersih, yang akan membawa kita bertemu sang pencipta
Hidup yang saya analogikan di atas terkesan sangat simpel, tapi sangat sulit dinyatakan..
Saya, mahasiswa tingkat 4 salah satu univ. negeri di kota Bandung usia 22 tahun. Jengah, bosan, muak dengan kata lulus dan nikah. Entah mengapa, bagi saya hidup tidak sesimpel “lulus terus nikah”. Saya terancam cumlaude dengan syarat lulus tidak lebih dari bulan Februari 2011. Mungkin lulus februari itu mimpi, karena sulit untuk saya mewujudkannya. Jangan tanya mengapa? Saya punya seribu alasan untuk mengatakan saya memilih lulus di waktu yang tepat daripada lulus cepat.
8 dari 10 orang bilang saya workaholic
8 dari 10 orang bilang saya mata duitan
8 dari 10 orang bilang saya beruntung
10 dari 10 orang bilang saya harus punya prioritas
Kuliah saya terhambat saat saya kenal rupiah.
Kuliah saya terhambat saat papa bukan lagi sumber pendapatan saya.
Kuliah saya terhambat saat blackberry onyx dan vaio putih saya dapatkan dari keringat sendiri.
Kuliah saya terhambat saat saya memilih untuk bekerja keliling Indonesia daripada pergi ke kampus.
Kuliah saya terhambat saat semua pekerjaan minta diselesaikan di depan mata.
Hidup adalah pilihan, dan itu pilihan saya. Entah salah entah benar, saya tidak boleh menyesal. Saya tak bisa ingkar, kadang ada pilu saat melihat teman-teman bimbingan skripsi. Tapi lagi-lagi, saya sudah memilih, saya mencoba sekuat hati untuk tidak mengeluh.
Banyak orang di luar sana, pikir saya bodoh. “Kuliah komunikasi aja lama betul,” ujar mereka. Tapi saya masa bodoh, saya tidak makan dari keringat mereka.
Banyak orang di luar sana, pikir saya bodoh. “Semua teman dan saudara seumuran kamu sudah jadi sarjana,” ujar mereka. Tapi saya masa bodoh, saya tidak makan dari keringat mereka.
Asal mama papa masih sabar menanti, gelar S.Ikom pun pelan-pelan akan saya raih dengan cara saya sendiri.
See, itu baru satu problem dalam hidup yang hingga kini belum ditemukan jalan keluarnya..
“Hayang kawin win win win hayang kawin..”
(dalam bahasa sunda, artinya pengen kawin)
Ya saya ingin, tapi 3 tahun lagi. Ya saya ingin, tapi setelah bisa beli mobil sendiri. Ya saya ingin, tapi setelah penghasilan saya sendiri bisa mencukupi biaya hidup saya *belanja-salon-fitness-nabung*.
Apa jadinya jika 3 tahun lagi itu belum terjadi?
Apa jadinya jika sebelum 3 tahun saya sudah punya itu?
Tidak akan terjadi apa-apa, itu namanya hidup yang sesungguhnya. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan.